Beranda | Artikel
Lima Waktu Terlarang Shalat Sunah Mutlak - Syaikh Abdus Salam Asy-Syuwaiir #NasehatUlama
Kamis, 17 Februari 2022

Lima Waktu Terlarang Shalat Sunah Mutlak – Syaikh Abdus Salam Asy-Syuwai’ir #NasehatUlama

PERHATIAN
Penjelasan Syaikh di video ini akan mudah Anda pahami dengan cara: ambil buku, dan catat semua penjelasan Syaikh! Gunakan fitur “pause” di perangkat Anda. Anda buat bagan dari catatan tersebut. Kemudian Anda ulang-ulang terus pelajaran ini. Demikianlah belajar, ada upaya dan perjuangan.

Penulis memulai dengan menjelaskan tentang salat sunah, dan menyebutkan bahwa secara umum, salat sunah terbagi menjadi dua:

(PERTAMA: SALAT SUNAH MUTLAK)
Salat Sunah Mutlak, yaitu salat sunah yang disyariatkan setiap waktu. Tentang salat Sunah Mutlak ini, kita ambil beberapa faedah:

Pertama, salat ini tidak dianjurkan untuk ditinggalkan saat safar, karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tetap salat sunah ketika safar, berbeda dengan sebagian salat Sunah Muqayyad yang tidak dikerjakan ketika safar.

Kedua, bahwa salat Sunah Mutlak ini, menurut penulis, sebagaimana ini nampak dalam perkataan beliau, bahwa salat ini tidak boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, berbeda dengan salat Sunah Muqayyad yang boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang, yang akan saya jelaskan sebentar lagi.

Beliau berkata, “Salat Sunah Mutlak adalah salat yang tidak dikhususkan pada waktu tertentu, dan boleh dilakukan kapan pun dan disunahkan dikerjakan kapan pun, kecuali pada lima waktu ini:

(1) setelah fajar hingga matahari terbit,
(2) ketika matahari terbit hingga meninggi,
(3) sebelum matahari tergelincir (yaitu waktu tengah hari, ketika matahari tepat berada di atas kepala, hingga waktu Zuhur tiba)
(4) setelah Ashar, dan (5) ketika matahari terbenam.

Inilah lima waktu terlarang tersebut, penulis membaginya menjadi lima waktu, dan juga bisa dibagi menjadi tiga waktu dan dua waktu.

Kita mulai dengan pembagian yang lima, beliau berkata:

(PERTAMA)
Ketika matahari terbit hingga meninggi setinggi tombak, inilah waktunya. Baiklah, kita mulai dari yang paling awal, beliau berkata, “Setelah fajar hingga matahari terbit, Inilah waktunya, ini adalah waktu yang panjang.

(KEDUA)
Waktu kedua adalah ketika matahari terbit hingga meninggi, yakni setinggi tombak.

(KETIGA)
Waktu ketiga, “Sebelum matahari tergelincir ke barat,” kata beliau.

Sebagian ulama menggunakan istilah yang lebih rinci, mereka berkata, “Sesaat sebelum zawāl.”

Waktu ini adalah ketika matahari tepat berada di tengah langit, yaitu ketika matahari tepat berada di tengah langit, sehingga sebuah benda tidak memiliki bayangan di sebelah timur atau baratnya, inilah waktu terlarang, namun jika sudah tergelincir dari tengah langit, sehingga sebuah benda muncul bayangannya di sebelah timurnya, berarti sudah masuk waktu Zuhur dan sudah diperbolehkan salat.

Jadi, sebenarnya waktunya adalah ketika matahari tepat di tengah langit, beberapa saat sebelum tergelincir (zawāl) ke barat, waktu yang sangat pendek, perkiraan terlama tidak lebih dari dua menit saja.

(KEEMPAT)
Beliau berkata, “Setelah Ashar,” perkataan penulis ini maksudnya adalah setelah salat Ashar. Adapun setelah fajar, maksudnya adalah setelah terbit fajar, karena itulah yang ditunjukkan oleh kebanyakan hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, Berdasarkan hal ini, jika seseorang menjamak salat Zuhur dan Ashar di awal waktu (Jamak Taqdim), berarti waktu larangan salat baginya dimulai sejak saat itu. Adapun jika dia mengakhirkan salat Asharnya hingga penghujung waktu iẖtiyāri, yaitu sebelum bayangan benda mencapai dua kali lipat dari pada tinggi benda tersebut, maka sebelum itu bukanlah waktu terlarang. Oleh sebab itu, at-Tirmizi meriwayatkan hadis dengan sanad la ba’sa bihi, bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Ashar.” (HR. Tirmizi)

Ini bukan termasuk salat Sunah Rawatib, ini menunjukkan bolehnya salat Sunah Mutlak sebelum salat Ashar. Sebagian ulama yang menganggap lemah hadis ini, mereka mengatakan sesuai apa yang mereka pahami, bahwa waktu larangan dimulai ketika masuknya waktu Ashar, namun bukan begitu yang tepat, karena waktu ini terkait dengan salatnya, seperti yang dikatakan imam Ahmad, bahwa kebanyakan hadis menunjukkan bahwa waktu larangan ini terkait dengan salat Ashar, bukan waktu Ashar, sehingga berbeda dengan waktu fajar.

(KELIMA)
Beliau berkata, “Dan ketika matahari terbenam.” Yakni ketika matahari sudah condong dan terbenam, yaitu ketika warnanya menguning saat terbenam, dan inilah waktu terlarang namun hanya sebentar saja. Jadi, ini lima waktu terlarang. Kita bagi menjadi tiga waktu dan kami katakan, bahwa waktu-waktu terlarang ini bisa dibagi menjadi tiga:

(PERTAMA)
Sejak terbitnya fajar hingga matahari naik setinggi tombak, kita gabungkan waktu pertama dan kedua karena beriringan dan menjadikannya satu waktu.

(KEDUA)
Waktu kedua adalah ketika matahari tepat di tengah langit, yaitu sebelum tergelincirnya (zawāl) ke barat, sehingga waktu sebelumnya dan sesudahnya bukanlah waktu terlarang.

(KETIGA)
Waktu ketiga adalah setelah salat Ashar hingga terbenamnya matahari.

Kita gabungkan dua waktu, yaitu waktu setelah salat Ashar dan waktu terbenamnya matahari. Ini pembagian kedua, namun maksudnya sama.

Pembagian ketiga, bahwa waktu-waktu terlarang ini terbagi menjadi dua,

(1) waktu yang panjang, dan (2) waktu yang pendek.

Waktu yang panjang ada dua waktu, sedangkan waktu yang pendek ada tiga waktu. Waktu yang panjang adalah: (1) sejak terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, dan (2) setelah salat Ashar hingga menjelang matahari terbenam, yaitu ketika matahari menguning, inilah dua waktu yang panjang.

Waktu yang pendek ada tiga waktu, yaitu (1) saat matahari terbit hingga meninggi setinggi tombak, yang tidak lebih dari sepuluh menit, (2) saat matahari tepat berada di tengah langit, dan (3) saat matahari terbenam.

Apa faedah pembagian yang ketiga ini? Bahwa tiga waktu larangan yang pendek ini lebih banyak larangannya dari pada dua waktu yang panjang.

Terdapat riwayat dari ʿUqbah bin ʿAmir, “Tiga waktu yang kami dilarang untuk salat dan menguburkan jenazah kami, ….” (HR. Muslim)

Sehingga tidak boleh melakukan salat Jenazah, salat sunah yang terikat dengan sebab, dan menguburkan jenazah, inilah waktu terlarang yang pendek

Baiklah, sebelum berpindah ke pembahasan berikutnya, bahwa yang nampak dari perkataan penulis, dia cenderung pada pendapat bahwa pada waktu-waktu yang terlarang ini, yang dilarang hanya salat Sunah Mutlak, adapun salat Sunah Muqayyad—yang akan dijelaskan sebentar lagi—boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, ini berbeda dengan pendapat ulama generasi belakangan, dan yang disebutkan penulis adalah riwayat kedua.Tentu, terkecuali pada tiga waktu terlarang yang tidak boleh salat Sunah Mutlak atau Muqayyad.

Baiklah.

================================================================================

بَدَأَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بِذِكْرِ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ

فَذَكَرَ أَنَّ عَلَى سَبِيلِ الإِجْمَالِ نَوْعَانِ

نَوْعٌ مُطْلَقٌ أَيْ مَشْرُوعَةٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ

وَهَذِهِ السُّنَنُ الْمُطْلَقَةُ نَسْتَفِيدُ مِنْهَا أُمُورٌ

اَلْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ تَرْكُهَا فِي السَّفَرِ

فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَنَفَّلُ فِي السَّفَرِ

بِخِلَافِ بَعْضِ السُّنَنِ الْمُقَيَّدَةِ فَإِنَّهَا تُتْرَكُ فِي السَّفَرِ

الْأَمْرُ الثَّانِي أَنَّ هَذِهِ السُّنَنَ الْمُطْلَقَةَ

رَأْيُ الْمُصَنِّفِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ

أَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِعْلُهَا فِي أَوْقَاتِ النَّهْي

بِخِلَافِ السُّنَنِ الْمُقَيَّدَةِ فَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي أَوْقَاتِ النَهْيِ

سَأُشِيرُ لَهُ بَعْدَ قَلِيلٍ

قَالَ: الْمُطْلَقُ وَهُوَ مَا لَا يَخْتَصُّ بِوَقْتٍ

فَتُفْعَلُ فِي أَيْ وَقْتٍ فَيُسَنُّ فِي جَمِيعِ الْأَوْقَاتِ إِلَّا فِي خَمْسَةِ أَوْقَاتٍ

بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

وَعِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَرْتَفِعَ وَقَبْلَ الزَّوَالِ

وَبَعْدَ الْعَصْرِ وَعِنْدَ الْغُرُوبِ

هَذِهِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ تَنْقَسِمُ إِلَى خَمْسَةٍ كَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ

وَتَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةٍ وَتَنْقَسِمُ إِلَى اثْنَيْنِ

نَبْدَأُ بِهَا عَلَى التَّقْسِيمِ الْخُمَاسِيِّ فَقَالَ

مِنْ حِينِ تَطْلُعُ الشَّمْسُ إِلَى أَنْ تَرْتَفِعَ قِيدَ رُمْحٍ هَذَانِ هَذَا وَقْتٌ

نَعَمْ بَدَأَ بِالأَوَّلِ قَالَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

هَذَا وَقْتٌ وَهُوَ وَقْتٌ طَوِيلٌ

الْوَقْتُ الثَّانِي عِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَرْتَفِعَ أَيْ تَرْتَفِعَ قِيدَ رُمْحٍ

الْوَقْتُ الثَّالِثُ قَالَ قَبْلَ الزَّوَالِ

وَبَعْضُ الْفُقَهَاءِ يَأْتِي بِعِبَارَةٍ أَدَقٍّ فَيَقُولُ قُبَيلَ الزَّوَالِ

لِأَنَّ الْوَقْتَ هُوَ حِينَ قِيَامِ قَائِمِ الظَّهِيرَةِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ

فَإِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ

وَلَا فَيْئَ لِلشَّاخِصِ لَا لِلْمَشْرِقِ وَلَا لِلْمَغْرِبِ

فَإِنَّهُ وَقْتُ النَّهْيِ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ كَبِدِ السَّمَاءِ

وَأَصْبَحَ لِلشَّاخِصِ فَيْءٌ مِنْ جِهَةِ الْمَشْرِقِ

فَقَدْ دَخَلَ وَقْتُ الظُّهْرِ وَأُبِيحَتِ الصَّلَاةُ

وَحِيْنَئِذٍ فَإِنَّ الْوَقْتَ هُوَ فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ عِنْدَمَا تَكُونُ الشَّمْسُ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ قُبَيلَ الزَّوَالِ

وَقْتٌ ضَيِّقٌ جِدًّا لَا يَتَجَاوَزُ دَقِيقَتَيْنِ عَلَى أَقْصَى تَقْدِيرٍ

قَالَ وَبَعْدَ الْعَصْرِ قَوْلُ الْمُصَنِّفِ هُنَا بَعْدَ الْعَصْرِ أَيْ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ

أَمَّا الْفَجْرُ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ طُلُوعُ الْفَجْرِ

وَعَلَى ذَلِكَ جَاءَتْ أَكْثَرُ أَحَادِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَبِنَاءً عَلَيْهِ فَلَوْ أَنَّ الْمَرْءَ صَلَّى الْعَصْرَ جَمْعًا مَعَ الظُّهْرِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ

فَإِنَّ وَقْتَ النَّهْيِ فِي حَقِّهِ مُسْتَمِرٌّ مِنَ الْآنِ

وَأَمَّا إِذَا أَخَّرَ صَلَاةَ الْعَصْرِ إِلَى آخِرِ وَقْتِ الِْاخْتِيَارِ

قَبْلَ أَنْ يَكُونَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ

فَمَا قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَيْسَ وَقْتَ النَهْيِ

وَلِذَلِكَ جَاءَ عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ بِالسَّنَدِ لَا بَأْسَ بِهِ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

وَهَذِهِ لَيْسَتْ مِنَ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ

فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ التَّنَفُّلُ قَبْلَ صَلَاةِ الْعَصْرِ

وَمَنْ سَعَى فِي تَضْعِيْفِ هَذَا الْحَدِيثِ بَنَاهُ عَلَى رَأْيِهِ

أَنَّ وَقْتَ النَّهْيِ يَبْتَدِئُ مِنْ دُخُولِ وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ وَلَيْسَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ

إِنَّمَا هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِالصَّلَاةِ قَالَ أَحْمَدُ

أَكْثَرُ الْأَحَادِيثِ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ مُتَعَلِّقٌ بِالصَّلَاةِ أَيْ الْعَصْرِ

لَا بِالْوَقْتِ بِخِلَافِ الْفَجْرِ

قَالَ: وَعِنْدَ الْغُرُوبِ أَيْ وَعِنْدَمَا تَمِيلُ الشَّمْسُ الْغُرُوْبُ

أَيْ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ وَهَذَا وَقْتُ النَّهْيِ لَكِنَّهُ قَصِيرٌ

إِذَنْ هَذِهِ خَمْسَةُ أَوْقَاتٍ

نُقَسِّمُهَا إِلَى ثَلَاثَةِ أَوْقَاتٍ فَنَقُولُ

هَذِهِ الْأَوْقَاتُ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةٍ

مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى ارْتِفَاعِهَا قِيدَ رُمْحٍ

فَجَمَعْنَا الْوَقْتَ الْأَوَّلَ وَالثَّانِيَ لِاتِّصَالِهِمَا فَجَعَلْنَاهُ وَقْتًا وَاحِدًا

الْوَقْتُ الثَّانِي عِنْدَ قِيَامِ قَائِمِ الظَّهِيرَةِ قُبَيْلَ الزَّوَالِ

لِأَنَّهُ مَا قَبْلَهُ وَمَا بَعْدَهُ لَيْسَ أَوْقَاتُ النَّهْيِ

الْوَقْتُ الثَّالِثُ مِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ

فَأَدْخَلْنَا وَقْتَيْنِ وَهُوَ مِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعَصْرِ وَوَقْتِ غُرُوبِ الشَّمْسِ

هَذَا الْقِسْمُ الثَّانِي نَفْسُ الْمَعْنَى

الْقِسْمَةُ الثَّالِثَةُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ

أَوْقَاتٌ طَوِيلَةٌ وَأَوْقَاتٌ قَصِيرَةٌ

فَالأَوْقَاتُ… الطَّوِيلَةُ وَقْتَانِ

وَالْأَوْقَاتُ الْقَصِيرَةُ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ

فَالأَوْقَاتُ الطَّوِيلَةُ هِيَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ

وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبٍ أَوْ إِلَى قُبَيْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ

هَذَانِ وَقْتَانِ طَوِيلَانِ

وَالْأَوْقَاتُ الْقَصِيرَةُ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ

عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَارْتِفَاعِهَا قِيدَ رُمْحٍ لَا يَتَجَاوَزُ عَشْرَ دَقَائِقَ

وَعِنْدَ… وَعِنْدَ قِيَامِ قَائِمِ الظَّهِيرَةِ وَعِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ

مَا فَائِدَةُ التَفْرِيقِ الثَّالِثِ؟

أَنَّ الأَوْقَاتَ الثَّلَاثَةَ الْقَصِيرَةَ فِيهَا مَنْهِيَّاتٌ أَكْثَرُ مِنَ الْأَوْقَاتِ المَنْهِيِ عَنْهَا

وَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: ثَلَاثَةُ سَاعَاتٍ نُهِينَا عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا وَأَنْ نَدْفُنَ فِيهَا مَوْتَانَا

فَلَا يُصَلَّى فِيهَا عَلَى الْجَنَائِزِ وَلَا يُصَلَّى فِيهَا ذَوَاتُ الأَسْبَابِ وَلَا يُصَلَّى فِيهَا… وَلَا يُدْفَنُ فِيهَا وَلَا يُدْفَنُ فِيهَا الْمَوْتَى

هَذِهِ الْأَوْقَاتُ الْقَصِيرَةُ

طَيِّبٌ قَبْلَ أَنْ نَنْتَقِلَ إِلَى الْمَسَائِلِ اللَّتِي بَعْدَهَا ظَاهِرُ كَلَامِ المُصَنِّفِ

أَنَّ الْمُصَنِّفَ يَمِيلُ إِلَى أَنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ لَا يُصَلَّى فِيهَا فَقَطْ مَاذَا؟ النَّفِيلَةُ الْمُطْلَقَةُ

وَأَمَّا النَّافِلَةُ الْمُقَيَّدَةُ اللَّتِي سَيُورِدُهَا بَعْدَ قَلِيلٍ

فَيَجُوزُ صَلَاتُهَا فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ خِلَافًا لِمَا ذَكَرَهُ مُتَأَخِّرُونَ

وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ هُوَ الرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ

طَبْعًا يُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ الْأَوْقَاتُ الْقَصِيرَةُ الثَّلَاثَةُ فَلَا يَجُوزُ فِيهَا لَا نَافِلَةٌ مُطْلَقَةٌ وَلَا مُقَيَّدَةٌ

نَعَمْ

 


Artikel asli: https://nasehat.net/lima-waktu-terlarang-shalat-sunah-mutlak-syaikh-abdus-salam-asy-syuwaiir-nasehatulama/